“Hijrah” ke High Culture; Contoh Kasus Teater JKTMOVEIN dalam Produksinya
Sebagai industri, proses produksi budaya sekarang ini merupakan
proses yang ditandai dengan karakteristik menonjol yaitu standarisasi,
massifikasi, dan juga komodikasi. Ketiga karakteristik tersebut
membentuk keseragaman atau homogenisasi baik dalam produk
budayanya ataupun pemikiran (selera) yang dikonsumsi atau dimiliki oleh
masyarakat. Produk industri budaya adalah produk budaya yang memang
diperuntukkan untuk konsumsi massa, sehingga ketika proses
produksinya, produk tersebut dibuat lebih atau kurang dari perencanaan
aslinya Adorno (1973). Karakteristik kultur industri ini muncul sejak tahun
60-an sampai sekarang. Berkembangnya jaman membuat kebudayaan itu
tidak lagi hanya diciptakan oleh masyarakatnya saja, tetapi juga oleh
industri. Terlebih lagi adanya internet dan digitalisasi serta munculnya
smartphone yang mempermudah akses terhadap industri budaya.
Kebudayaan tidak lagi diciptakan sebagai social order (untuk mengatur
masyarakat), melainkan lebih mengarah kepada profit atau komersialisasi.
Yang berusaha “berbeda” dari market, itulah yang nantinya lama-lama
akan tersingkirkan dan hilang.
Namun saya melihat yang terjadi sekarang ini adalah justru
kebalikannya. Masyarakat, terutama kaum muda sekarang ini justru
seperti “hijrah” ke high culture. Istilah indie atau independen justru
menjadi sesuatu yang dicari-cari. Akibatnya, produk indie inilah yang
dikonsumsi masyarakat. Dan ketika menjadi konsumsi masyarakat
banyak maka produk tersebut lama kelamaan akan berubah mengikuti
selera pasar dimana di dalamnya tercipta pola-pola karya yang kurang
lebih sama satu sama lainnya atau yang dikatakan Adorno sebagai
standarisasi (Adorno dalam Strinati, 59:2004)
Fenomena hijrah ke high culture ini sebenarnya muncul dari
keterbukaan media dan akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi
sehingga berimplikasi pada peningkatan pengetahuan masyarakat akan
seni dan masyarakat bisa membedakan mana yang “high culture” dan
mana yang “low culture”. Tidak hanya membedakan, melainkan seakan
membangun kembali dinding pemisah antara high dan low yang tadinya
sudah runtuh akibat muculnya industri budaya. Istilah “alay” merupakan
salah satu contoh fenomena yang membuktikan bahwa masyarakat sudah
“melek” budaya ini benar terjadi.
Fokus pembahasan saya adalah pada teater karena saya melihat
bahwa meningkatnya peminat teater sekarang ini merupakan salah satu
contoh bentuk hijrahnya masyarakat (terutama kaum muda) ke high
culture. Teater sendiri merupakan produk budaya yang menurut
pandangan Adorno, masuk ke dalam kelompok high culture. Secara
etimologis teater adalah gedung pertunjukan. Tetapi dalam arti
sebenarnya, teater merupakan drama yang berisi kisah hidup dan
kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media yaitu
percakapan, gerak, dan laki didasarkan pada naskah yang tertulis dan
ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dan lain sebagainya. Seiring
berkembangnya jaman, bentuk pementasan dalam teater pun ikut
berkembang dengan semakin banyak improvisasi di dalamnya. Seperti
contohnya pergantian adegan yang tadinya berlangsung lama sembari
diselingi tari-tarian, menjadi hanya dalam beberapa detik saja. Teater
yang sekarang ini sedang muncul kembali di kalangan anak muda Jakarta
adalah teater JKTMOVEIN, yang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah
sukses menggelar tiga (3) pentas teater yang sangat fenomenal dan
ditonton oleh banyak orang.
Permasalahan yang diangkat disini tidak hanya berfokus pada
bagaimana tingginya minat terhadap teater JKTMOVEIN, baik sebagai
penonton ataupun sebagai crew yang terlibat di dalamnya, dapat
membuktikan fenomena hijrah ke high culture, tetapi juga membuktikan
bahwa industri budaya merupakan salah satu hal yang tidak bisa dielakan
dibuktikan dengan besarnya pengiklanan, promosi, dan komersialisasi di
dalamnya. Meskipun wujud dan idealismenya adalah untuk kembali
membangun “nilai” seni itu sendiri, tetapi hal-hal seperti iklan, promosi,
dan sebagainya justru saya lihat sebagai hal yang sangat bertolak
belakang jika melihat pandangan Adorno mengenai industri budaya. Dan
menariknya, meskipun disatu sisi organisasi ini mengakui kalau organisasi
ini merupakan bentuk industri kreatif, dan disisi lain tetap mau
memperjuangkan nilai-nilai teater yg memperjuangkan idealisme,
mendidik, dan lain sebagainya, organisasi ini tetap mampu menghasilkan
sesuatu yang sukses baik dalam bentuk membangun kembali “nilai”
seninya dan juga dalam hal komersialisasinya. Dibuktikan dengan
pertunjukkan terakhir yang dilakukan JKTMOVEIN dengan judul
“Petualangan Sherina” yang berhasil menembus penonton sebanyak
kurang lebih 7000 orang.
Teater JKTMOVEIN, yang adalah kepanjangan dari “Jakarta
Movement and Inspiration”, merupakan suatu organisasi gerakan kaum
muda Jakarta di bidang seni dan kreativitas. Kebanyakan yang terlibat
adalah kaum muda dari berbagai sekolah sampai universitas dari seluruh
Jakarta. Organisasi yang digagas oleh Nurul Prameswari dan Farras Safira
pada tahun 2013 ini mempunyai nilai tersendiri terhadap seni dan teater.
Kedua founder JKTMOVEIN ini mempunyai pandangan bahwa seni teater
mempunyai kekuatan untuk menjalin persatuan, memberikan nilai-nilai
positif, bahkan mampu untuk mengubah nasib bangsa menjadi lebih baik.
Dalam salah satu konferensi pers yang dilakukan bulan Juni 2018 lalu
terkait dengan pentas yang hendak mereka lakukan, Nurul mengatakan
demikian
“Kami ingin menciptakan karya yang memperjuangkan idealisme,
pesan yang baik, serta tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga
sebagai sarana edukasi, komunikasi massa, dan memiliki kekuatan
untuk menyatukan bangsa,”
Kutipan diatas menunjukkan bahwa organisasi ini dibuat berlandaskan
nilai-nilai yang menurut Adorno, adalah bentuk dari high culture yang
seharusya tidak dikomersialisasikan. Konsep teater yang dimiliki
JKTMOVEIN adalah teater musikal. Pertunjukkan pertama yang digelar
organisasi ini berjudul “Musikal Sekolahan” pada Juni 2014 dengan
penonton sebanyak 1500 orang. Disusul dengan pertunjukkan kedua
dengan judul “Gemuruh” pada Agustus 2015 dengan penonton sebanyak
2000 orang. Dan pertunjukkan terakhir mereka dengan judul “Musikal
Petualangan Sherina” pada September 2017 ini meraih kesuksesan besarbesaran dengan terjualnya semua tiket yang ada dengan jumlah penonton
kurang lebih 7000 orang. Dan pada pertunjukkan yang ketiga inilah saya
melihat komersialisasi dan promosi mempunyai peran yang sangat besar
dalam menyukseskan pentas ini.
“Musikal Petualangan Sherina” merupakan drama musikal dengan
mendapatasi film dengan judul yang sama yaitu “Petualangan Sherina”
yang tayang pada tahun 2000 karya MILES FILM dan Alm. Elfa Secioria.
Film ini sendiri menceritakan seorang gadis kecil bernama Sherina.
Sherina, yang berasal dari Jakarta harus ikut orangtuanya pindah ke
Bandung Utara karena ayahnya mendapatkan pekerjaan di sebuah
perkebunan. Di sekolahnya yang baru, Sherina mendapatkan temanteman baru, dan juga seorang musuh bernama Sadam, yang adalah anak
dari majikan ayahnya. Namun permusuhan Sherina dan Sadam berubah
menjadi persahabatan ketika mereka dihadapkan pada penculikan yang
dilakukan oleh Kertaradjasa,saingan dari ayah Sadam, dan disini mereka
dituntut untuk bekerjasama demi menyelamatkan diri mereka. Yang
menjadi pusat perhatian pada pertunjukkan musikal ini menurut saya
adalah pada lagu-lagu soundtrack yang dinyanyikan kembali seperti
“Jagoan”, “Lihatlah Lebih Dekat”, dan “Bintang-Bintang” yang membuat
suasana menjadi hidup dan membuat penontonnya bernostalgia.
Musikal petualangan sherina berlangsung selama tiga hari dengan
jadwal enam kali pertunjukkan. Dari proses audisi sampai produksi dan
pengiklanannya pun sangat digital dan modern. Audisi Musikal
Petualangan Sherina sendiri berbeda dengan audisi untuk pertunjukkan
teater atau drama yang biasa dilakukan. Untuk menjadi pemain, terdapat
beberapa tahap yang harus ditempuh. Tahap pertama dilakukan dengan
memanfaatkan Instagram, salah satu platform yang sangat terkenal
sekarang ini, dengan cara membuat video berdurasi 30 sampai 1 menit
yaitu menyanyikan salah satu soundtrack film sherina. Video tersebut
nantinya harus diunggah di akun peserta dengan mencantumkan hashtag
#AudisiJKTMOVEIN dan #MusikalPetualanganSherina dan men-tag akun
resmi milik pihak panitia JKTMOVEIN itu sendiri. Peserta yang terpilih
nantinya akan mengikuti tahap-tahap selanjutnya secara langsung seperti
membaca naskah, menari, dan bernyanyi. Selayaknya pada audisi
pertunjukkan pada umumnya.
Pemilihan tahapan seleksi seperti ini menarik perhatian yang besar,
dilihat dari banyaknya peserta yang menunggah video untuk audisi di
akun Instagram mereka dengan ketentuan yang diberikan. Cara seperti ini
terbilang sangat mudah dan membuka peluang bagi semua orang untuk
menjadi pemain. Menariknya menurut saya, dalam aplikasi Instagram
terdapat fitur explore dimana semua video yang diunggah semua orang
dapat dilihat oleh dunia, dan implikasinya adalah karena banyaknya yang
mengunggah video audisi ini, maka secara tidak langsung terjadi promosi
(atau iklan) secara “gratis”. Semua menjadi tahu mengenai musikal
petualangan sherina ini karena mereka secara tidak sengaja melihat video
yang masuk di dalam fitur explore Instagram yang mereka buka hampir
setiap hari, bahkan setiap berapa jam sekali.
Menurut saya, pengiklanan musikal petualangan sherina ini juga
memiliki intention untuk ditonton semua orang. Dibuktikan dengan
banyaknya media partner dan sponsor yang digunakan. Keterlibatan salah
satu sponsor yang terlihat adalah sponsor Hansaplast. Film sherina sendiri
terkenal dengan icon hansplast yang digunakan oleh sherina pada film
tersebut. Pada pertunjukkan musikal petualangan sherina, terdapat kuis
untuk memenangkan tiket pertunjukkan. Kuis tersebut mengharuskan
para pesertanya untuk berfoto memakai hansaplast sambil menirukan
gaya ala/khas sherina, dengan ketentuan produk hansaplast yang harus
terlihat di dalam foto tersebut. Pemenangya adalah peserta dengan gaya
terunik. Disinilah terlihat keterlibatan sponsor dalam produksi
pertunjukkan musikal petualangan sherina. Selain itu, media partner
pertunjukkan ini seperti beberapa radio ternama di Indonesia dengan giat
mempromosikan pertunjukkan ini setiap harinya pada jam-jam siaran
yang sudah ditentukan sebelumnya.
Selain itu, industri budaya yang dapat dilihat disini adalah pada
bentuk pengemasan pertunjukkan musikal petualangan sherina itu
sendiri. Teater, menurut Eka seharusnya menunjukkan pengelakan,
penolakan, bahkan mentrandensi realita. Teater sejatinya merupakan
bentuk seni campuran, dimana unsur-unsur seperti sastra, seni rupa,
arsitektur, musik, dan tarian masuk di dalamnya dan menciptakan karya
seni yang dinamakan teater (Eka, 4 :2003). Namun yang dikemas dalam
pertunjukkan musikal petualangan sherina menurut saya bukanlah bentuk
teater yang “aseli”, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa mereka tetap
menuai kesuksesan besar-besaran. Pertunjukkannya dikemas modern baik
dari sisi produksi eksternal seperti tata panggung, lighting, dan lain
sebagainya maupun produksi internal seperti pengemasan naskah itu
sendiri kontennya menjadi lebih mengikuti tren yang sekarang. Disini
menunjukkan pendapat Adorno yang menunjukkan bahwa komoditas yang
diproduksi oleh industri budaya diatur berdasarkan nilainya di pasaran
(Strinati, 2004:57).
Kesimpulan
Dari beberapa hal yang telah dijabarkan, menurut saya JKTMOVEIN
merupakan satu bentuk dimana fenomena hijrah high culture benar
terjadi. Akses terhadap media dan keleluasaan orang untuk
mengemukakan pendapat di media sosial yang mendorong hal tersebut
terjadi. Kebanyakan orang sekarang lebih mencari sesuatu yang berbeda
atau yang lebih indie dari yang lain. Kata “kebanyakan” disini
menunjukkan bahwa berarti justru pasarnya sekarang adalah yang indie.
Namun yang perlu dilihat disini adalah mereka melupakan bahwa
sebenanrya high culture jika merujuk pada Adorno bukanlah lagi high
culture ketika sudah menjadi konsumsi massa. Pasalnya, justru hal ini
yang dapat mendukung para seniman indie ini untuk membuat karya
mereka orientasinya lebih ke profit. Akhirnya produk-produk yang
dihasilkan tidak lagi sesuai dengan perencanaan awal dan nilai yang
sesungguhnya ingin diangkat menjadi berkurang bahkan bisa hilang.
Tetapi dibalik itu semua hal ini bukanlah masalah karena
sebenarnya bentuk fenomena hijrah ke high culture ini adalah salah satu
upaya untuk melestarikan high culture itu sendiri, meskipun bentuknya
tidaklah benar-benar seotentik apa yang disebut Adorno dengan high.
Karena seperti yang dikatakan oleh Herbert Gans, seniman tidak bisa
benar-benar indpenden, karena sebenarnya dibalik itu semua mereka
menciptakan karya yang ingin disukai massa dan karena itu mereka harus
melihat pasar dalam masyarakat seperti apa. Herbert Gans (1974:32)
dalam Budiman (2002:120) juga mengatakan bahwa sebenarnya,
masyarakat atau audience bukanlah gerombolan massa yang teratomisasi
seperti yang dikatakan Adorno. Sebagian besar masyarakat atau audience
ini justru merupakan anggota-anggota keluarga, teman, atau kelompok
sosial lainnya yang cenderung menghormati moral.
Kelemahan Adorno disini juga ada pada argumen yang seakan
melihat bahwa para seniman ini terlalu pasif dan pasrah terhadap
pemodal. Namun kenyataannya, seperti yang dapat dilihat pada teater
JKTMOVEIN, tidak sepenuhnya demikian. Organisasi ini tidak pasif dan
pasrah terhadap pemodal, mereka mempunyai nilai-nilai yang mereka
pertahankan, lepas dari keinginan pemodal atau dalam kasusnya disini
misalnya sponsor. Yang dilakukan justru adalah “mengkombinasikan”
keduanya sehingga terbentuklah kesepakatan yang menguntungkan
keduanya. Misalnya adalah dalam hal sponsor hansaplast pada
pertunjukkan musikal petualangan sherina. Karena hal demikian, maka
sebenarnya industri budaya bukanlah hal yang bisa dikatakan buruk
sepenuhnya. Fenomena “hijrah” ke high culture inilah yang membuktikan
bahwa sebagian besar masyarakat sekarang merupakan masyarakat yang
mempunya nilai dan menghormati moral tanpa harus mengobarkan hal
tersebut demi kepentingan pemilik modal ataupun demi mengikuti selera
pasar.
Daftar Referensi :
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Strinati, Dominic. 1995. An introduction to theories of popular culture;second edition. New York:
Routledge.
Sitorus, Eka D. 2003. The Art of Acting; Seni Peran untuk Teater, Film & TV. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
http://indonesiakreatif.bekraf... diakses pada 21 Oktober 2017 pukul
15.30
https://www.musikalpetualangan... diakses pada 21 Oktober 2017 pukul 15.40
http://indonesiakreatif.bekraf... pada 21 Oktober
2017 pukul 16.00
http://www.thejakartapost.com/... diakses pada 21 Oktober 2017 pukul 16.40
penulisnya jessica valentina