Konsep Queer dan Bagaimana Power Bekerja dalam relasi seksual di dalamnya
Jender merupakan konstruksi sosial, yaitu bagaimana seseorang
mengidentifikasi dirinya. Karena merupakan konstruksi sosial, maka
jender dapat dilihat sebagai sesuatu yang diraih atau achieved. Ketika
berbicara jender kita tidak hanya berbicara tentang maskulin-feminin,
melainkan lebih dari itu. Faktor-faktor seperti kelas, agama, ras, dan
politik dapat mempengaruhi jender itu sendiri.
Pada praktiknya, seringkali jender terlihat seakan selalu berkaitan
dengan preferensi seksual atau orientasi seksual. Contohnya adalah
bagaimana jika seorang feminine, maka pasangannya (harus) maskulin,
dan sebaliknya. Sama halnya dengan homoseksual, dimana asumsi
dasarnya adalah pasti terdapat satu pihak yang memainkan peran
maskulin, dan pihak lainnya feminine secara tetap. Menurut saya hal ini
membuat seakan-akan identitas itu bersifat kaku.
Pada kasus hunter dan lines, yaitu sebutan untuk lesbian di
Makasar, Sulawesi Selatan, asumsi yang sebelumnya saya katakan
mengenai jender yang memiliki satu peranan tertentu sehingga membuat
identitas itu sendiri terlihat kaku dipatahkan. Dikotomi antara hunter dan
lines sebenarnya lebih kepada pembagian peran dalam suatu hubungan.
Seorang perempuan maskulin akan diindentifikasikan sebagai hunter, dan
seorang perempuan feminine akan diindentifikasikan sebagai lines. Peran
hunter adalah sebagai “pemburu”. Sifatnya yang agresif selayaknya pria
dalam hubungan heteroseksual membuat keaktifannya dalam “memburu”
lines menjadi karakteristik khusus. Hunter merupakan seorang pelindung
bagi lines (Nurul 2006:8). Namun perlu diingat bahwa term lesbian
maskulin berbeda dengan tomboy. Dalam pengidentifikasian keduanya
(hunter dan lines) Nurul berpendapat bahwa (2006:8) lebih sulit lines
dibanding hunter karena lines yang feminine dan berpenampilan
selayaknya perempuan heteroseksual lainnya.
Menariknya adalah, pada hunter dan lines, peran keduanya tidak
permanen, artinya adalah seseorang tidak dengan mudah
mengidentifikasi dirinya menjadi hunter selamanya atau lines selamanya.
Seorang hunter sewaktu-waktu bisa menjadi lines dan sebaliknya. It’s a
matter of one’s feeling. Judul dari artikel ini menurut saya benar-benar
menggambarkan situasi yang terjadi. Peran hunter dan lines yang
fleksibel menggambarkan bahwa sebenarnya dalam menjalani suatu
hubungan, jender dan jenis kelamin bukanlah satu aspek penting
melainkan perasaan itu sendiri. Konsep ini dikenal dengan Queer.
Dalam artikel yang ditulis oleh Heather Worth dengan judul The
Romance of The Queer yang berbicara mengenai lesbian di Thailand yang
diidentifikasikan dengan Tom dan Dees, suatu konsep yang sama dengan
hunter dan lines, konsep Queer ini lebih dipaparkan dengan jelas yang
berangkat dari pandangan Judith Butler mengenai ide bahwa identitas
merupakan sesuatu yang cair. Identitas yang diperoleh dari tindakan
perfomative, yang selalu berubah-ubah. Hal ini dikenal dengan teori
perfomative oleh Butler itu sendiri, dimana melalui performa (tindakan)
manusia menghasilkan identitas. Hal ini membuat jender terwujud
sebagaimana dieskpresikan individu itu sendiri.
Teori Queer mulai dikembangkan dengan dasar pandangan yang
menolak bahwa seks (male/female) sebagai penentu dari gender
(maskulin/feminine), dan jender sebagai penentu orientasi seksual. Teori
queer merupakan bentuk kritiikan atas asumsi-asumsi dasar
heteroseksual dengan menentang pandangan-pandangan heteronormatif
di dalamnya. Pada kasus Tom dan Dees, Tom, yang merupakan
perempuan maskulin, tidak menuntut kepuasan secara seksual, ketika
berhubungan seksual tentu saja, terhadap pasangannya. Bahwa
kepuasan pasangan merupakan kepuasan dirinya. Hal ini yang
membuktikan bahwa norma heteronormative, dimana biasanya dalam
hubungan seksual pasangan hetero laki-laki (atau pihak maskulin)
menuntut kepuasan, tidak bersifat universal.
Melalui dua kasus yang telah dipaparkan, jender dan identitas
sekarang tidak bisa lagi dinilai sebagai sesuatu yang bersifat kaku,
melainkan cair. Paradigma heteroseksual yang berasumsi bahwa jenderlah
yang justru menentukan tindakan manusia mulai dari berbicara, berfikir,
sampai mencintai ternyata dipatahkan oleh oleh teori Queer yang
mengatakan bahwa justru jender hadir setelah manusia itu sendiri
bertindak dan mengekspresikan dirinya.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, jender merupakan hal
yang berkaitan dengan banyak hal, termasuk di dalamnya kekuasaan.
Ketika menjalani suatu hubungan, kegiatan seksual merupakan hal yang
menurut saya pasti ada, lepas dari jender apapun yang menjalani
hubungan tersebut. Kegiatan seksual ini, menurut Foucault, pun tidak
dapat lepas dari yang namanya kekuasaan.
Konsep kekuasaan yang dimaksudkan Foucault disini berbeda
dengan kekuasaan sebagaimana dikenal dalam ilmu politik yang selalu
berkaitan dengan institusi. Menurutnya, kekuasaan merupakan hal yang
ada dimana-mana dan cakupannya tidak sesempit itu. Kekuasaan
merupakan suatu hal yang produktif. Maksudnya adalah bagaimana
dengan adanya suatu kekuasaan justru malah menghadirkan resistensi.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana perilaku manusia yang jika ditekan,
justru malah semakin menjadi-jadi. Melalui knowledge atau pengetahuan,
pengetahuan tentang seks tersebut di transmisikan.
Yang hendak saya hubungkan dengan bagaimana kasus Queer
adalah konsep romantic love oleh Anthony Giddens yang meruapakan
bentuk kritikan atas teori Foucault yang menurut Giddens justru
dilewatkan. Konsep ini menjadi penting dalam konteks seksualitas, dimana
maksudnya adalah seseorang mempunyai kebebasan dalam memilih
pasangan untuk mengekspresikan keintimannya. Jika dikaitkan dengan
queer, menurut saya konsep ini menjadi seperti serupa. Dimana hal yang
diaggap penting adalah perasaan, sehingga seorang individu memiliki
kuasa untuk bebas memilih dengan siapa individu tersebut menjalin
hubungan.
Referensi :
Giddens, A.
2004. Transformation of Intimacy. Bab 2 ̳Seksualitas Menurut Foucault‘.
Jakarta: Fresh Book. Hal. 23-49.
Idrus, N.I.
2006. ―It‘s the Matter of One‘s Feeling‖: Gender, Desire and Identity among
female same-sex relationship in globalised South Sulawesi‖, Antropologi
Indonesia 30(1): 7-20
Sinnott, M.
2008. ̳The romance of the Queer: The sexual and gender norms of Tom and
Dee in Thailand‘. Dalam F. Martin et.al (ed.), Asiapacifiqueer.
Urbana:University of Illinois Press, hal. 131-148