Politik Tubuh dan Subordinasi Perempuan
Perempuan merupakan mahluk yang lemah lembut dan berkarakter
keibuan. Begitulah bagaimana masyarakat melihat sosok perempuan.
Nilai-nilai agama dan kebudayaan mempunyai peran cukup banyak dalam
menetapkan moralitas publik tentang seksualitas, terutama pada kaum
perempuan. Nilai-nilai keperawanan, heteroseksualitas, dan keibuan
merupakan beberapa nilai penting yang menjadikan perempuan itu
perempuan yang baik-baik. Karena adanya nilai-nilai ini, munculah
kategorisasi atas mana perempuan baik-baik mana perempuan tidak baikbaik. Kategorisasi ini merupakan salah satu bentuk ideologi jender yang
dibuat oleh negara. Hal ini jujur saja mengganggu, karena membuat
perempuan yang karakternya diluar karakter perempuan pada
“umumnya” seakan tidak normal. Perempuan seakan tidak bisa dengan
bebas mengatur sendiri tubuhnya, dalam hal ini maksutnya adalah
mengekspresikan seksualitasnya.
Dari beberapa nilai tadi, salah satu nilai yang dianggap penting
dalam masyarakat Indonesia adalah keperawanan. Perempuan dan
keperawanan merupakan hal yang “seharusnya” inheren, merupakan
suatu kesatuan yang nantinya akan berujung kepada pernikahan. Lagilagi, inilah perempuan yang dianggap perempuan yang seharusnya. Lalu
bagaimana dengan perempuan “lain”? Hillary Gorman mengambil contoh
kasus pada pekerja seks komersial atau PSK. Pekerja seks komersial
merupakan perempuan yang dianggap immoral, dianggap “kotor”. Dari
beberapa alasan yang diungkapkan, alasan yang paling banyak
diutarakan adalah karena tuntutan ekonomi yang mendesak. Hal ini
membuat para perempuan pekerja seks komersial ini makin tertekan lagi.
Tertekan dalam hal apa? Dalam hal sturktural. “Sudah psk, miskin pula”.
Label PSK dan miskin menekan para perempuan ini ke tingkatan yang
paling bawah. Implikasinya adalah marjinalisasi terhadap para perempuan
ini, yang berdampak pada keterbatasan akses publik, seperti akses
terhadap kesehatan, tempat ibadah, dan lain-lain. Dan parahnya,
marjinalisasi ini dianggap normal oleh masyarakat.
Meskipun demikian, uniknya konstruksi ini masih bisa
dinegosiasikan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana ketika perempuan
pekerja seks komersial ini bekerja karena tuntutan ekonomi dan tanggung
jawab terhadap keluarga, maka ia akan dianggap oleh masyarakat
sebagai perempuan yang bertanggung jawab dan akan dimaklumi oleh
masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan perempuan yang
bekerja sebagai psk ini memang ingin bekerja sebagai psk? Bukankah ini
tidak adil bagi mereka yang memang memutuskan demikian? Atau jika
kasus psk ini terlalu berat, bagaimana dengan perempuan yang tidak
perawan? Tepatnya yang memilih untuk tidak perawan? Atau jika masih
terlalu berat lagi, bagaimana dengan perempuan yang tidak ingin
menikah? Yang tidak memiliki karakter keibuan? Apakah keputusan ini
masih dianggap immoral?
Pertanyaan-pertanyaan diatas inilah yang saya maksutkan dengan
bagaimana politik tubuh terjadi. Bahwa bagaimana untuk
mengekspresikan seksualitas diri sendiri saja seseorang tidak bisa bebas
dengan seutuhnya. Namun kembali lagi, menurut saya kebebasan ini
memang tidak bisa sepenuhnya didapatkan karena kita harus
memperhatikan konteks masyaratnya. Kita juga harus sadar bahwa kita
tinggal di dalam masyarakat, dan dalam suatu masyarakat pasti ada
norma dan nilai-nilai yang dianut untuk mengatur masyarakat tersebut,
dan kita tidak dapat mengubah apalagi menghilangkan hal tersebut.
Mungkin sesuatu yang menurut saya harus diperhatikan, dan mungkin
bisa diubah adalah bagaimana daritadi ketika kita berbicara mengenai
nilai-nilai dalam masyarakat yang mampu mengkatogerisasikan
perempuan baik-baik dan tidak, lalu bagaimana dengan laki-laki? apakah
porsi tekanan yang didapat sama dengan perempuan?
Sejak sekolah dasar, ketika dalam pelajaran biologi membahas
mengenai organ reproduksi manusia, kita diberitahu bahwa sel sperma
laki-laki yang aktif akan mengejar sel telur perempuan. Kesannya,
perempuan harus menunggu dan laki-laki yang harus aktif mengejar dan
lagi-lagi hal ini yang dianggap normal oleh masyarakat. Kita bisa melihat
pada bagaimana nilai tersebut diterapkan dalam masyarakat melalui
nasihat-nasihat bagi perempuan untuk tidak terlalu aktif, jika tidak maka
perempuan tersebut akan dinilai sebagai perempuan yang agresif.
Dampaknya, perempuan seakan ditekan, menjadi subordinat laki-laki,
menjadi tidak setara.
Dalam tulisannya yang berjudul The Egg and the Sperm: How
Science Has Constructed a Romance Based on Stereotypical Male- Female
Roles, Emily Martin mengungkapkan bahwa ternyata ada pandangan
biologis lain yang mengatakan bahwa ternyata justru sel telur perempuan
lah yang “menarik” sel sperma laki-laki. Tidak berhenti disitu, ternyata
muncul lagi pandangan ketiga yang berpendapat bahwa ternyata
keduanya, sel telur dan sperma, sama-sama saling tarik-menarik.
Uniknya, meskipun pandangan biologis ini sudah berkembang sedemikian
rupa, pandangan pertama, pandangan yang paling tua lah yang masih
diajarkan di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa demikian?
Budaya memiliki peran dalam mengatur nilai dalam masyarakat.
Kebudayaan bahkan mampu membuat masyarakat secara tidak langsung
“memilih” illmu pengetahuan apa yang hendak diterapkan, lepas dari
banyaknya pilihan teori yang tersedia. Hal ini yang membuat bagaimana
masyarakat Indonesia memilih tetap untuk berpegang pada teori pertama
tersebut, dan menurunkan nilai-nilai mengenai pasif-agresif pada
perempuan dan laki-laki. Karena budaya Indonesia memang sesuai
dengan teori tersebut, bisa dilihat mulai dari bagaimana patrilinieal yang
ada hampir di setiap suku bangsa di Indonesia.
Hal ini juga mempengaruhi konstruksi hubungan perempuan dan
keibuan. Seperti yang dijelaskan pada bagian awal, mengenai bahwa
bagaimana perempuan selalu dihubungkan dengan pernikahan, bahwa
hubungan seksual harus dilakukan setelah melakukan pernikahan
tersebut. Hal ini lalu berbeda dengan laki-laki. Ketika laki-laki melakukan
hubungan seksual diluar nikah, “hukuman” yang dibebankan kepada lakilaki, menurut saya, tidak seberat perempuan. Seakan-akan muncul
pengecualian pada laki-laki. Contoh lainnya adalah bagaimana ketika
berbicara mengenai kemandulan, pasti selalu dihubungkan terlebih
dahulu dengan perempuan.
Pandangan masyarakat mengenai batas jender inilah yang bahkan,
dikonstruksi oleh ilmu pengetahuan itu sendiri, yang memunculkan biasbias jender dan mengakibatkan ketidaksetaraan antara perempuan dan
laki-laki.
Referensi
Bennet, L.R.
2012. ―Infertility, womanhood and motherhood in Contemporary Indonesia.‖
Intersections, no. 28, http://intersections.anu.edu.a...
Gorman, H.
2011. ―Marginalization of ̳immoral women‘: experiences of young women
street sex workers in Surabaya‖, Intersections, no. 26,
http://intersections.anu.edu.a...
Martin, E.
1991. ̳The Egg and the Sperm: How Science Has Constructed a Romance
Based on Stereotypical Male- Female Roles‘, Signs 16 (3): 485-501