← Back to portfolio
Published on

Zomia dan Industri Musik Independen di Indonesia

Dewasa ini, industri independen kerap dikenal dan diminati oleh

masyarakat, terutama pada kalangan muda. Jenis industri yang memiliki

banyak peminat adalah music independen. Kemunculan musik

independen seakan dilihat sebagai sesuatu yang sangat menarik, seakan

membuat pandangan bahwa semakin independen, maka semakin tinggi

juga peminatnya. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang masih

berstatus sebagai pelajar, masyarakat kalangan muda selalu diarahkan

untuk melihat sesuatu dari pandangan negara atau state centered.

Beberapa kajian seringkali menempatkan negara sebagai unit analisis.

Ketika menjadi mahasiswa, hal ini kemudian berusaha di“bongkar” dan

individu seringkali diminta untuk keluar dari pandangan sebuah state itu

sendiri. Namun demikian, hal ini malahan menjadi sebuah kebiasaan dan

terbawa dalam kehidupan individu tersebut, baik dalam melihat politik,

sosial, maupun budaya. Industri independent dianggap sebagai zomia dari

sistem pemerintahan, dan menjadi saluran yang mampu

mengekspresikan pandangan yang sudah di konstruksikan untuk melihat

segala hal itu haruslah beyond the state.

Namun pertanyaan yang muncul adalah: Pertama, ketika

menyebutkan konsep zomia yang saya rujuk dari kajian mengenai zomia

itu sendiri yang dikemukakan oleh James Scott dalam The Art Of Not

Being Governed (2009) adalah apakah sebenarnya konsep zomia itu

sendiri haruslah bersifat aerial? Meskipun dalam tulisan tersebut yang

dimaksudkan Scott adalah sebuah region atau wilayah yang dimana

manusianya tidak tergabung dalam sistem pemerintahan. Kedua, apakah

industri musik independent itu sendiri sudah cukup mampu untuk

dikatakan sebagai zomia meskipun bentuknya abstrak (bukan merupakan

wilayah)? Ketiga, lalu sebenarnya apakah relevansi dari industri musik dan

film independent dengan kajian etnografi asia tenggara? Hal inilah yang

pada awalnya menjadi pertanyaan saya dan yang hendak saya pelajari

dan bahas pada tulisan selanjutnya.


Mendekonstruksi Konsep Zomia

Ketika kita membaca konsep Zomia, sebenarnya konsep itu sendiri

lebih merujuk kepada konsep ruang atas suatu tempat atau kawasan

dimana institusi pemerintahan tidak begitu terlibat dalam kehidupan

masyarakat di dalamnya. Dalam tulisan Scott, konsep zomia pada

awalnya merupakan nama untuk wilayah pada dataran tinggi (upland)

sepanjang wilayah Asia Tenggara yang melewati Vietnam, Kamboja, Laos,

Thailand, dan Burma dimana daerah tersebut intervensi pemerintah

sangatlah minim. Masyarakat yang tinggal dalam kawasan zomia

mempunyai keberagaman yang tinggi, mulai dari bahasa, aktivitas

perekonomian, identifikasi etnis, sampai praktis keagamaan (Scott, 2009 :

16). Daerah yang terbilang atau biasa dikatakaan sebagai zomia adalah

daerah perbatasan, dimana kontrol pemerintah sangat minim. Jika kita

melihat definisi dari konsep zomia itu sendiri, terkesan bahwa zomia itu

merupakan suatu region atau wilayah yang bisa dijelaskan secara

geografis, yang merupakan konsep ruang yang nyata. Namun bagaimana

jika konsep tersebut bisa digunakan pada ruang abstrak?

Ketika saya membaca lagi dan lagi mengenai konsep ini, zomia itu

sendiri hanya merupakan sebuah “ide” atas suatu wilayah dimana kontrol

pemerintah sangat minim. Dengan demikian, ide dari zomia seharusnya

bisa diterapkan pada ruang abstrak sekalipun, karena wujudnya yang

lebih kepada “ide” dan bukan sesuatu yang menandakan suatu wilayah

tertentu, meskipun dalam tulisan Scott dikatakan demikian. Konsep zomia

itu sendiri menurut saya lebih merujuk atau terkait dengan sesuatu yang

luput dari pemerintahan, sesuatu yang seakan tidak terkait (dan tidak

ingin) dengan institusi pemerintahan. Jika kembali lagi ke bacaan scott,

dituliskan demikian, “Far from being “left behind” by the progress of

civilization in the valleys, they have, over long periods of time, chosen to

place themselves out of the reach of the state” (Scott, 1994;22). Hal ini

menandakan bahwa sebenarnya masyarakat di dalam zona zomia itu

sendiri berusaha mempertahankan ke “zomia”annya. Bahwa luput dari

pemerintahan merupakan hal yang justru mereka pertahankan, karena

dengan demikian, hal-hal seperti pajak dan kebijakan pemerintah lainnya

yang dirasa “merugikan” dapat mereka hindari.

Dengan demikian, mengkonstruksi konsep zomia tidak melulu harus

dirujuk kepada suatu wilayah, melainkan kepada ide mengenai suatu hal

yang berkaitan dengan luput dari pemerintahan, atau berusaha lepas dari

intervensi pemerintah. Dari sini, maka konsep zomia itu sendiri dapat

dipakai untuk ruang abstrak sekalipun, termasuk industri musik

independen yang hendak saya bahas selanjutnya.

Industri musik Independen (Label Independen) dan Zomia pada Ruang Abstrak
Industri musik independen itu sendiri sebenarya adalah label musik

yang independen. Label indenden adalah perusahaan rekaman kecil yang

indendent atau berdiri sendiri, tidak terikat dengan perusahaan sponsor

maupun pihak manapun. Karakteristik musik yang biasanya masuk ke

dalam label independen adalah musik-musik yang tidak mengikuti aliran

yang sedang populer di kalangan masyarakat. Perbedaan yang juga perlu

diperhatikan antara label independen dengan major label atau label yang

sudah tergabung dalam sponsor adalah major label memiliki suatu sistem

distribusi nasional untuk produknya, sedangkan independen label

mangandalkan kemampuan sendiri untuk menangani distribusi produk itu

sendiri. Hal ini berkaitan dengan laju pemasaran produk atau album pada

masing-masing label.

Musik yang dihasilkan atau direkam melalui label independen

biasanya lebih “bebas”, dalam artian, musisi atau band lebih diberi

kebebasan untuk berekspresi dalam pembuatan karyanya. Hal ini kadang

dimanfaatkan para musisi, untuk mengekspresikan apapun, termasuk

pendapat mengenai kondisi politik atau pemerintahan yang ada. Sekarang

ini, banyak band dibawah naungan label independen yang memproduksi

musik dengan tema demikian. Label independen seakan menjadi wadah

untuk mengeskpresikan karya serta pendapat mereka, yang biasanya

cenderung kontra terhadap pemerintah, tanpa harus khawatir mengenai

penyensoran atau pemotongan lagu itu sendiri.

Hal inilah yang saya lihat sebagai zomianya masyarakat sekarang.

Dimana hal yang ternyata ditemukan dalam kehidupan sehari-hari mampu

menggambarkan konsep zomia yang seringkali masih dirasa jauh dari

kehidupan perkotaan dan kehidupan sehari-hari. Label musik independen

merupakan zomia masyarakat dimana intervensi pemerintah minim

sehingga di dalamnya mereka bebas mengekspresikan apa yang mereka

inginkan. Inilah yang saya maksudkan dengan zomia pada ruang yang

asbtrak, yaitu pada musik independen yang menjadi wadah untuk “lari”

dari pemerintahan, yang bukan hanya dilakukan oleh musisi, melainkan

oleh pendengar musik tersebut, yaitu masyarakat luas.

Efek Rumah Kaca adalah salah satu band yang tidak berada pada

naungan major label. Beranggotakan Cholil Mahmud pada vocal dan gitar,

Adrian Yunan Faisal pada bass dan backing vocal, dan Akbar Bagus

Sudibyo pada drum dan backing vocal. Band yang berdiri pada tahun

2001 ini sempat berganti-ganti nama mulai dari “Hush”, “Super Ego”,

sampai akhirnya berubah menjadi seperti yang dikenal sekarang ini yaitu

“Efek Rumah Kaca”. Band ini terkenal dengan lagunya yang sangat tidak

mengikuti tren atau tidak mainstream, dan makna dibalik lagu-lagu yang

tidak hanya berbicara mengenai percintaan, seperti lagu-lagu pada

umumnya. Contohnya adalah lagu dengan judul “efek rumah kaca” yang

menceritakan mengenai bagaimana perlakuan merugikan manusia

terhadap bumi, dan lagu dengan judul “mosi tidak percaya” yang

menceritakan tentang bagaimana kekecewaan mereka terhadap

pemerintah atas kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat dan

disiasiakan.

Pada tahun 2013, band Efek Rumah Kaca menggratiskan album

mereka kepada seluruh masyarakat, yang mana album tersebut dapat

diunggah di website mereka yaitu http://efekrumahkaca.net/. Menurut

mereka, dengan digratiskan secara digital, masyarakat mampu

mengakses keseluruhan karya mereka tanpa bantuan major label, yang

dirasa mempersulit masyarakat untuk menjangkau karya mereka. Hal

inilah yang membuat Efek Rumah Kaca dikenal dan menjadi fenomenal

oleh masyarakat.

Selain efek rumah kaca, Iwan Falls, salah satu musisi papan atas di

Indonesia , merupakan pecipta lagu-lagu yang banyak bercerita mengenai

kritik terhadap pemerintah. Seperti bagaimana lagu berjudul “wakil

rakyat”, “demokrasi nasi”, “pola sederhana”, dan “mbak tini”, yang

bahkan menuai kontroversi dan mengakibatkan dirinya harus berurusan

dengan pihak berwajib. Namun sebenarnya jika dilihat kembali, Iwan Falls

sendiri merupakan musisi yang tidak berada pada naungan label

independen, melainkan major label.

Disini, terlihat bagaimana Iwan Falls, yang berkarya dibawah

naungan major label sangat mudah terikat pemerintahan, berbeda

dengan Efek Rumah Kaca yang independen. Major label itu sendiri dalam

pemasaran produknya sangat terkait dengan media massa yang diatur

dalam perundang-undangan yang ketat dan sangat kentara oleh

penguasa. Sedangkan label independen tidak. Meskipun disini kasusnya

adalah ada satu masa dimana Efek Rumah Kaca itu sendiri bahkan tidak

terikat pada label apapun. Namun inti yang ingin dibawa disini adalah

bagaimana disini karya seperti ini, yaitu independen, menunjukkan bahwa

tidak adanya bentuk penahanan dari pemerintah karena

ketidaktahuannya atas karya tersebut, yang mana menunjukkan bahwa

disinilah “luput”nya pemerintahan. Dan dilihat dari peminat band efek

rumah kaca itu sendiri, sepertinya kondisi tersebut justru tidak menjadi

masalah dan malahan masyarakat seperti menikmatinya dengan cara

mereka sendiri, cara mereka untuk “lari” dari pemerintahan dan kondisi

politik.

Inilah yang dimaksud dengan “zomia” pada ruang abstrak, yaitu

pada musik yang dihasilkan oleh industri musik independen. Kebebasan

masyarakat dalam mengaskes internet mengakses apapun, dalam kasus

ini yaitu lagu, dirasa mampu meminimalisir intervensi pemerintah.

Meskipun sebenarnya banyak pembajakan yang dilakukan dengan

menunggah lagu secara illegal, dan hal ini tentu saja dilarang dan

meskipun sudah diatur dalam perundang-undangan yang mana

menunjukkan bahwa intervensi pemerintah tetap ada, namun hal ini

sepertinya tidak menjadi masalah bagi masyarakat karena masih banyak

yang melakukannya dan tidak ada tindakan yang tegas untuk

mengehentikannya.

Penutup

Poin penting pada tulisan ini adalah sebenarnya bagaimana melihat

industri musik independen sebagai salah satu bentuk perwujudan konsep

zomia. Konsep zomia yang selama ini selalu merujuk pada kawasan, pada

tulisan ini justru merujuk pada ruang abstrak, yaitu musik itu sendiri,

dimana spesifikasinya adalah pada industri musik independen. Hal ini

didukung dengan kesamaan industri musik indenden dan zomia yang

sama-sama berada di “tempat” yang sama, yaitu dimana minimnya

intervensi pemerintah pada kedua hal tersebut.

Penggunaan industri independen sebagai zomia masyarakat ini

sebenarnya lebih dilihat dari sisi pendengar musik indepnden ini sendiri,

yaitu dimana pendengar musik independen inilah yang merasa bahwa

mereka ingin “lari” dari pemerintah, yaitu dengan mendengarkan musikmusik independen seperti Efek Rumah Kaca. Karena dengan demikian,

konsep zomia pada ruang abstak ini menjadi lebih mudah untuk dipahami.

Hal lainnya yang dapat dilihat adalah bagaimana dalam

mempelajari kajian Etnografi Asia Tengggara, kita perlu memperhatikan

fenomena ini sebagai hal-hal yang saling berkaitan dengan hal lainnya.

Seperti misalnya dengan bagaimana perkembangan label independen itu

sendiri, yang jika dilihat sekarang, tidak benar-benar independen.

maksutnya adalah bagaimana ternyata nilai-nilai seperti keinginan untuk

bebas berekspresi dan mengedepankan esensi dari suatu karya menjadi

agak dikesampingkan, dan justru lebih berusaha berorientasi pada uang.

Dengan memperhatikan hal seperti ini, maka mungkin konsep ini dapat

dipahami dari sisi yang berbeda, yaitu bukan dari label itu sendiri.